Karomah syehk Kholil Bangkalan
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara
bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata
karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak
disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi,
Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan,
hal. 40].
Sementara ini ada dua kisah yang bisa saya
cuplikkan yaitu:
1. KISAH PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK
Diantara karomah KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah
Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan
dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu
tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai
Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang
mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata
bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami
mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma
zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil
berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja
pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal
dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah
mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah
masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya.
Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal
lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat
ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa
duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling
tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama
semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil
petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan
itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial
itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal
dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran
empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi
aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar.
Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan
hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
2. KISAH KETINGGALAN KAPAL LAUT
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan
menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap,
tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan
memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.
Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak
ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk
memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur
itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu.
Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya.
Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil
Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari
kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang
kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di
kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya :
“Ada keperluan
apa?”
Lalu suami yang malang
itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi
yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai
Kholil ?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas
tanpa ragu. Maka sang suami yang malang
itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali.
Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena
sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan
sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah
sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai
Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya
sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur
jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya,
dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di
atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti
seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah
kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali
yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia
baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja
berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
3. membelah diri dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau
mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh
Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau
menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan
kemudian. Ada
seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata
saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi
4. Mengetahui Pikiran Kiai Noer
Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di
pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang
memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba
kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah.
Demikian juga dengan Kiai Noer. Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu
tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan
sholat kamu tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf,
begini Kiai, waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk
nasi di bakul, karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah
yang saya lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri
baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk
dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada
santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya
memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya
nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu
kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan,
tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai yang
akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu
mengistimewakannya.
5. Didatangi Macan
Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil
tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian
harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa
dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil
agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu,
segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang
terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan
semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga.
Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak
seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam
"Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang
diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua,
ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai
Kholil bak seorang komandan di medan
perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri
berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat,
pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat.
Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin
nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu
mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung
disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru
pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara
diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut
yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil
datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu
dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru
pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu
bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat
dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu
berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti
yang disyaratkan Kiai Kholil.
6. Membetulkan Arah Kiblat
Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal
alim itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut
hampir rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana
yang matang sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan
posisi masjid yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang
hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu
peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat
oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan
dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih
belum tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim
itu. Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu
saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat
pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak
ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan
ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di
ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding
tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini,
bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan
mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai
Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu
ternyata Ka'bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya.
Kiai Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi
lubang itu, dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka,
sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar
selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata
terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau
mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang
tadi.
7. Santri Mimpi Dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa
sholat subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan
karena malas. Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur
dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah
istri Kiai Kholil , istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar
sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri kurang ajar...,
santri kurang ajar..."
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: Siapa santri yang
tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan
mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri
menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak
hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari
Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai
Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh
berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang
pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis
pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu,
segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang
dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat
kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini
akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai,"
ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang
ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira
menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua,
santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan
itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang
ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun
memintanya untuk pulang kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang
mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang
memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama
Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di pondok
pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
8. Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa
bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar
itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang
bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil.
Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu
membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya akhirnya mereka membawa
pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka
berharap dengan ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri.
Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil
mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil
masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan
demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni Belanda
harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika tidak maka
tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan,
ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim
makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur
orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni
membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak
menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil
bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama
Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda
makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut
suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit
dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari
penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga
dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang
berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.
9. Residen Belanda
Suatu hari residen Belanda yang ditempatkan di
Bangkalan mendapat suatu surat
yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi
tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di Bangkalan. Padahal, jabatan
itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen ini sangat berbeda dengan
residen Belanda lainnya. Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui adanya
penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang
bersimpati kepada Indonesia
ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan.
Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai
dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang residen segera pergi
menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya
itu.
Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil
dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang
residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang
dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat,"
ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban
Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang
residen menerima surat dari pemerintah Belanda
yang isinya pencabutan kembali surat
keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan
demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan
melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya
melewati daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang
merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada
Kiai Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
10. Santri Pencuri Pepaya
Pada suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di
sekitar pondok pesantren kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat
pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena
lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud
mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya
aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian
dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup
banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah
diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu
dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu
disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok
pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena mencuri
pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman dan ketenaran kiai
tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar berita menarik itu,
beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu hari, beberapa santri
mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan harapan agar dimarahi kiai. Begitu
turun dari pohon pepaya. Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka
peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat
kepada santri yang mencuri pepaya itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil
dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah, celaka saya tidak bisa menjadi
kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya
dan berjanji tidak akan mengulanginya.
11. Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti
biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri
Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau
kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui
tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan
bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum)
kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil
tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat, habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat
wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap
Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba
habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak
dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat
itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai
Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan
itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya,
sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya
kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya
Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan
bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan
makna dalam ungkapan itu.
12. Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah
selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh,
tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan
perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai
Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai
Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar,
sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan
mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.
13. Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat
sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai
Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya.
Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas
memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil,
tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat
seraya berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing,
Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih.....
sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun
Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
14. Obat Aneh
Di daerah Bangkalan banyak terdapat binatang-
binatang menyengat yang suka berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat
ganas. Binatang ini akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di
malam hari. Pada suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat
kalajengking. Bisa kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya.
Beberapa pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus
asa, sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui
Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil.
"Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya",
ujarnya sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas sengatan yang telah
membengkak itu kemudian dipegangnya seraya berucap dengan dalam bahasa Madura :
"Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil
sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu
sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang
menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa
terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin
Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
15. Rumah Miring
Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di
pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para
undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan
di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara
nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa
orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut
jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah.
Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran
seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar
lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum
dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa
lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil
sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil,
gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil.
Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat
kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung
kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti
sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai
Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi sadar,
bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang
ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf.
Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang
dulu seorang jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang
alim. Bahkan, kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu.
16. Peristiwa tahlilan
Pada suatu hari yai kholil sedang berada di rumah, kemudian datanglah seorang tamu
"assalamualikum, " tamu
"waalaikum salam..sopo iku " yai kholil
"kulo mbah,,acung (umpomo) "tamu
"enek keperluan opo jan" yai kholil
"ngenten mbah,,sampean saya undang untuk ngimami tahlil mbah di rumah saya, nyembelih sapi mbah" tamu
"ooo..ngono..yo aku tak datang engko " yai kholil
singkatnya
"sudah kumpul semua undangannya" yai kholil
"sampoooooonn" undangan
"ayo moco tahlil bareng2, tak pimpin ,,,Afdholu dzikri,,Laa Ilaaha Ilallah "
"Laa Ilaaha Ilallah" undangan
kemudian yai kholil pergi ke dapur sambil berkata " katanya nyembelih sapi..ndang dikeluarkan"
"nggeh mbah, tapi engken sesudah tahlil" kata yang di dapur
"tahlile wes mari" yai kholil
(semua terkejut heran)
dengan tak disangka tuan rumah menggerutu dalam hati,,langsung saja mbah kholil nyamperi
"cung,, nyapo nggerutu " yai kholil
"mboten mbah" acung
" Lha tadi hatimu berkata " yai kholil
"ngenten lho mbah, kalo di desa sini..pas tahlil kalo disembelihkan ayam tahlilnya 1/4 jam..kalo di sembelihkan kambing 1/2 jam..lha saya nyembelih sapi e mbah..wayae nggeh 1 jam to mbah, la sampean cuman Laa Ilaaha Ilallah 1 kali e gak da semenit" jawab acung
"ooo,,,ngono..kamu pengen tau beratnya la ilaaha ilallah,,yo wes,,sapimu masih berapa" tanya mbah kholil
"2 mbah " jawan acung
" gowoen rene kabeh " pinta yai kholil
" buat apa mbah " tanya acung
" gak usah tanya , cepet bawa sini " pinta yai kholil
"nggeh mbah " acung
singkatnya
"oke,,sekarang pertandingan berat badan antara 2 sapi vs Laa Ilaaha Ilallah". kata yai kholil
Semua undangan membawa sapi kemudian diikat jadi satu, lalu mencari pohon besar yang di gunakan untuk menimbang.
sedangkan yai kholil hanya mencari sebuah daun waribang kemudian ditulisi bi'istatika la ilaaha ilallah ( beratkan dengan la ilaaha ilallah).
kemudian keduanya diikatkan pada suatu kayu lalu ditimbang..subhanallah.
"kamu lihat sendiri kan,,sapimu jomplang dengan la ilaaha ilallah " kata yai kholil
"nggeh mbah "jawab acung
semua tertegun melonggo
subhanallah...