Kalau kita
mendengar kata sarung, secara otomatis di benak kita akan teringant selembar
kain yang biasa dipakai kaum muslimin Indonesia untuk mengerjakan sholat, atau
minimal yang dipakai tetangga untuk bersiskampling. Sarung mungkin sudah lekat
dengan kehidupan kita sehari-hari, hampir bisa dipastikan rakyat Indonesia
sebagian besar telah memilikinya, baik itu masih anak-anak ataupun yang sudah
tua renta, terutama kaum priyai. Walaupun sudah melekat dengan kehidupan kita
sehari-hari, namun apakah kita pernah berpikir atau terbesit dalam pikiran ,
sebenarnya siapa yang menemukan dan merancang sarung tersebut ? Kalu hal ini
disesuaikan dengan kehidupan sekarang yang serba matrealistis, mungkin penemu
dan perancang sarung sudah banyak royalnya, apalagi dipatenkan sebagai hak
cipta. Tentu penemu dan perancang sarung akan berkhidupan kaya raya secara
materi, sebab sudah berapa juta orang telah menggunakannya. Akan tetapi tidak
demikian bagi penemu dan perancangnya, semua itu dijadikan sebagai amal jariyah
dalam hidup sampai kematiannya. Hal inilah yang kayaknya sudah luntur dalam
kehidupan social masyarakat kita, baru mengerti dan menemukan sedikit saja,
namanya ingin sekali di kenang sebagai pahlawan, belum lagi tuntutan
royality yang harus didapat sampai tujuh
keturunan. Maha Besar Allah, semoga penemu dan perancang kain sarung selalu
mendapat limpahan rahmat-Mu.
Dalam kaitan
dengan falsafah kali ini, mungkin kita tidak akan membahas asal muasal
terciptanya sarung, namun akan membahas secara filosofinya. Di era modern dan
serba mutakhir sekarang ini telah bermunculan berbagai barang atau benda
berskala teknologi canggih. Akan tetapi kecanggihan benda –benda tersebut
sebatas satu atau beberapa kegunaan saja. Misalkan saja HP, yang semula hanya
sebagai alat komunikasi dua arah, dengan percerpatan teknologi sekarang tidak
hanya sebagai alat komunikasi telephone saja, namun bisa juga digunakan sebagai
alat recorder, telivisi, kamera bahkan sampai note book. Apakah benda seperti
ini yang disebut canggih ?
Sekarang coba
kita bandingkan dengan sarung yang ditemukan entah berapa tahun silam. Ternyata
selain sarung digunakan sebagai penutup aurat ketika Sholat, lebih dari itu
bisa juga digunakan sebagia senjata, alat panjat, topeng penyamaran, tas
ransel, dompet, kemul sampai alas ompol. Kemultifungsian sarung inilah
sebenarnya yang mendudukkan sarung sebagai alat yang paling fleksibel dan
canggih. Coba bayangkan, ketika kita kedinginan, sarung bisa berubah sebagai
selimut, baik sebagai alat penghangat sekaligus sebagai alat preventif
pencegahan beredarnya Wadah DB. Ketika kita butuh memnjat pohon, sarung bisa
digunakan sebagai alat pembantu untuk memanjat. Ketika kita butuh alat peluncur
dari ketinggian, sarung pun bisa digunakan. Ketika kita dihadang mush bersenjata,
sarung bisa digunakan sebagai peredam alat tajam. Ketika ada binatang berbisa,
sarung bisa digunakan untuk menagkapnya. Ketika kita ambil uang di bank, sarung
bisa digunakan sebagai task koper yang banyak isinya. Bahkan ketika anak kita
ngompol, sarung bisa digunakan sebagai alas biar tidak kedinginan bokongnya.
Dan masih banyak lagi fungsi yang lain, seperti dalam buku yang berjudul “1001
fungsi sarung”.
Dari
fleksibilitas sarung inilah yang notebene milik kaum muslimin Indonesia.
Diharapkan seorang muslim juga bisa sperti sarung, di manapun dan kapanpun bisa
bermanfaat bagi lingkungannya. Tidak harus memposisikan diri dulu sebagai
Ustadz, kiai, pejabat, rakyat ataupun aparat.
Seorang muslim harus bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya
laksana sarung. Dimana harus berubah sebagai senjata, kemul, penutup aurat,
tali atau bahkan alas ompol. Tanpa harus merubah dirinya seperti lingkungan
sekalipun seorang muslim harus bisa membantu sesama yaitu berlandaskan syariat
agama islam. Untuk menjadi senjata, sarung tidak perlu harus merubah dirinya
sebagai pisau belati atau senapan, cukup di plintir ujungnya dikasih batu saja
sudah bisa untuk alat pelontar, atau sebagai jala penghadang tusukan senjata tajam. Seorang
muslim pun demikina, untuk merubah keadaan carut marutnya bangsa Indonesia,
tentu tidak harus menjadi anggota dewan atau pejabat. Sehingga tidak bisa
dibenarkan kalau ada alasan bahwa untuk merubah atau mewarnai sesuatu, seorang
muslim harus ikut melebur di dalamnya. Hal inilah yang mungkin sering dijadikan
alasan oleh kaum ulama atau kiai yang sementara ini duduk di anggota dewan atau
sebagai kepala pemerintahan. Dengan alasan kalau dirinya tidak ikut duduk
sebagai anggota dewan, maka ditakutkan kewajiban-kewajiban yang lahir akan tidak
maslahat. Namun apa yang terjadi, lebih dari separo anggota dewan yang beragama
islam, entah tetap saja tidak bisa menyelasikan masalah yang ada bahkan
kelihatan semakin semrawut. Terus dimana ketika rembugan soal nasib rakyat yang
setip hari semakin panjang antrian pemenuhan kebutuhan bahan pokok ? atau
mungkin karena sewaktu siding para anggota dewan tidak pernah pakai sarung,
sehingga lupa atau tidak tahu falsafah sarung ?
Hanya dengan
sarung hidup manusia bisa survival untuk mempertahnkan hidupnya, walau dilepas
di tengah hutan belantara sekalipun. Karena hanya dengan sarung kita bisa
gunakan sesuai kebutuhan kita, untuk menjala ikan, untuk memanjat, bahkan
sebagai pelampung ketika berenang. Untuk itu bangsa Indonesia seharusnya bangga
telah memliki alat tercanggih di dunia berupa sarung yang tingkat
kefleksibelannya tidak diragukan lagi. Demikian halnya dengan kaum muslimin
Indonesia, harus bangga telah memiliki sarung, yang diharapkan bisa menjadi
sarung untuk dirinya sendiri dan lingkungan dalam menghadapi krisis seperti
sekarang ini. Maka kita harus mempunyai motto “Merakyatkan sarung dan
menyarungkan rakyat”
Sumber :
Majalah Mayara Edisi 68/Th.VI/April 2008.
No comments:
Post a Comment
Please..
Berikan saran...