
Namun
sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan
selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang
pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran
Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka,
tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama
Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman
Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan
juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767),
VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923
:1045 ).
Pada
tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono
II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk
sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola
sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan
VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke
Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun
barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan
mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di
bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda,
Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut
Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang
terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut
seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera
merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat
perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan
demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal
dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat,
perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada
tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke
Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak
akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti
terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat
yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan
bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18
Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.
LEGENDA ASAL USUL BANYUWANGI
![]() |
Gandrung_Asli Banyuwangi |
Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang
alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu
Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih
yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso
yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga
membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk
membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah
Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh
manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih
berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso,
sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung
dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan
Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk
suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh
Sri Tanjung.
Ketika
Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja.
Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan
bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan
istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang
Raja.
Tanpa
berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh
kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.
Pengakuan
Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas
menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh
istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh.
Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir
dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan
kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh
itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah
berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih
Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri
Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri
Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur
menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih
Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari,
ia menjerit "Banyu..... ... wangi............... .
Banyu wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta
istri pada suaminya.