SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA,,,HAL-HAL YANG MENGENAI PENAMPILAN..ISI..TATA LETAK YANG SAYA HIDANGKAN..ITULAH KEMAMPUAN SAYA..LAKUKAN APA YANG ANDA BISA,,






Tuesday 8 May 2012

Asal usul / falsafah sarung




Kalau kita mendengar kata sarung, secara otomatis di benak kita akan teringant selembar kain yang biasa dipakai kaum muslimin Indonesia untuk mengerjakan sholat, atau minimal yang dipakai tetangga untuk bersiskampling. Sarung mungkin sudah lekat dengan kehidupan kita sehari-hari, hampir bisa dipastikan rakyat Indonesia sebagian besar telah memilikinya, baik itu masih anak-anak ataupun yang sudah tua renta, terutama kaum priyai. Walaupun sudah melekat dengan kehidupan kita sehari-hari, namun apakah kita pernah berpikir atau terbesit dalam pikiran , sebenarnya siapa yang menemukan dan merancang sarung tersebut ? Kalu hal ini disesuaikan dengan kehidupan sekarang yang serba matrealistis, mungkin penemu dan perancang sarung sudah banyak royalnya, apalagi dipatenkan sebagai hak cipta. Tentu penemu dan perancang sarung akan berkhidupan kaya raya secara materi, sebab sudah berapa juta orang telah menggunakannya. Akan tetapi tidak demikian bagi penemu dan perancangnya, semua itu dijadikan sebagai amal jariyah dalam hidup sampai kematiannya. Hal inilah yang kayaknya sudah luntur dalam kehidupan social masyarakat kita, baru mengerti dan menemukan sedikit saja, namanya ingin sekali di kenang sebagai pahlawan, belum lagi tuntutan royality  yang harus didapat sampai tujuh keturunan. Maha Besar Allah, semoga penemu dan perancang kain sarung selalu mendapat limpahan rahmat-Mu.

Dalam kaitan dengan falsafah kali ini, mungkin kita tidak akan membahas asal muasal terciptanya sarung, namun akan membahas secara filosofinya. Di era modern dan serba mutakhir sekarang ini telah bermunculan berbagai barang atau benda berskala teknologi canggih. Akan tetapi kecanggihan benda –benda tersebut sebatas satu atau beberapa kegunaan saja. Misalkan saja HP, yang semula hanya sebagai alat komunikasi dua arah, dengan percerpatan teknologi sekarang tidak hanya sebagai alat komunikasi telephone saja, namun bisa juga digunakan sebagai alat recorder, telivisi, kamera bahkan sampai note book. Apakah benda seperti ini yang disebut canggih ?
Sekarang coba kita bandingkan dengan sarung yang ditemukan entah berapa tahun silam. Ternyata selain sarung digunakan sebagai penutup aurat ketika Sholat, lebih dari itu bisa juga digunakan sebagia senjata, alat panjat, topeng penyamaran, tas ransel, dompet, kemul sampai alas ompol. Kemultifungsian sarung inilah sebenarnya yang mendudukkan sarung sebagai alat yang paling fleksibel dan canggih. Coba bayangkan, ketika kita kedinginan, sarung bisa berubah sebagai selimut, baik sebagai alat penghangat sekaligus sebagai alat preventif pencegahan beredarnya Wadah DB. Ketika kita butuh memnjat pohon, sarung bisa digunakan sebagai alat pembantu untuk memanjat. Ketika kita butuh alat peluncur dari ketinggian, sarung pun bisa digunakan. Ketika kita dihadang mush bersenjata, sarung bisa digunakan sebagai peredam alat tajam. Ketika ada binatang berbisa, sarung bisa digunakan untuk menagkapnya. Ketika kita ambil uang di bank, sarung bisa digunakan sebagai task koper yang banyak isinya. Bahkan ketika anak kita ngompol, sarung bisa digunakan sebagai alas biar tidak kedinginan bokongnya. Dan masih banyak lagi fungsi yang lain, seperti dalam buku yang berjudul “1001 fungsi sarung”.

Dari fleksibilitas sarung inilah yang notebene milik kaum muslimin Indonesia. Diharapkan seorang muslim juga bisa sperti sarung, di manapun dan kapanpun bisa bermanfaat bagi lingkungannya. Tidak harus memposisikan diri dulu sebagai Ustadz, kiai, pejabat, rakyat ataupun aparat.  Seorang muslim harus bisa mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya laksana sarung. Dimana harus berubah sebagai senjata, kemul, penutup aurat, tali atau bahkan alas ompol. Tanpa harus merubah dirinya seperti lingkungan sekalipun seorang muslim harus bisa membantu sesama yaitu berlandaskan syariat agama islam. Untuk menjadi senjata, sarung tidak perlu harus merubah dirinya sebagai pisau belati atau senapan, cukup di plintir ujungnya dikasih batu saja sudah bisa untuk alat pelontar, atau sebagai jala  penghadang tusukan senjata tajam. Seorang muslim pun demikina, untuk merubah keadaan carut marutnya bangsa Indonesia, tentu tidak harus menjadi anggota dewan atau pejabat. Sehingga tidak bisa dibenarkan kalau ada alasan bahwa untuk merubah atau mewarnai sesuatu, seorang muslim harus ikut melebur di dalamnya. Hal inilah yang mungkin sering dijadikan alasan oleh kaum ulama atau kiai yang sementara ini duduk di anggota dewan atau sebagai kepala pemerintahan. Dengan alasan kalau dirinya tidak ikut duduk sebagai anggota dewan, maka ditakutkan kewajiban-kewajiban yang lahir akan tidak maslahat. Namun apa yang terjadi, lebih dari separo anggota dewan yang beragama islam, entah tetap saja tidak bisa menyelasikan masalah yang ada bahkan kelihatan semakin semrawut. Terus dimana ketika rembugan soal nasib rakyat yang setip hari semakin panjang antrian pemenuhan kebutuhan bahan pokok ? atau mungkin karena sewaktu siding para anggota dewan tidak pernah pakai sarung, sehingga lupa atau tidak tahu falsafah sarung ?

Hanya dengan sarung hidup manusia bisa survival untuk mempertahnkan hidupnya, walau dilepas di tengah hutan belantara sekalipun. Karena hanya dengan sarung kita bisa gunakan sesuai kebutuhan kita, untuk menjala ikan, untuk memanjat, bahkan sebagai pelampung ketika berenang. Untuk itu bangsa Indonesia seharusnya bangga telah memliki alat tercanggih di dunia berupa sarung yang tingkat kefleksibelannya tidak diragukan lagi. Demikian halnya dengan kaum muslimin Indonesia, harus bangga telah memiliki sarung, yang diharapkan bisa menjadi sarung untuk dirinya sendiri dan lingkungan dalam menghadapi krisis seperti sekarang ini. Maka kita harus mempunyai motto “Merakyatkan sarung dan menyarungkan rakyat”

Sumber : Majalah Mayara Edisi 68/Th.VI/April 2008.